Friday, September 16, 2011

Ind(e)ra Milik Milanka #4

Sore itu, aku duduk di taman kampus menikmati sore yang berangin. Adriana yang menemaniku, dia tampak bingung melihatku mematung. Aku tahu, dia ingin bicara tapi nampaknya dirinya sudah lebih mengenalku daripada diriku sendiri. Adriana adalah teman baikku di kampus, kami berkenalan dengan cara yang tidak menyenangkan.
Waktu itu aku memakai sepatu kesayanganku, sebuah flat shoes berpita merah dengan paduan warna krem yang dominan, itu hadiah dari mama. Hari itu ditengah perjalananku ke kampus tiba-tiba hujan deras. Aku sangat menyesal memakai sepatu itu, namun apa daya. Tiba-tiba didalam bus yang penuh sesak, seorang perempuan naik terburu-buru dan menginjak sepatu kesayanganku. Spontan aku melotot kesal.
"Liat-liat dong, sepatu gue kotor tuh !", kataku ketus.
Kemudian perempuan berambut cepol itu memalingkan wajahnya ke arahku dengan wajah yang sama kesalnya dengan aku. Rambutnya agak basah terkena hujan.
"Heh, lo pikir cuma sepatu lo yang kotor ? Sepatu gue juga. Kalo enggak mau kotor, enggak usah naik angkutan umum. Nih liat sepatu gue !", ucapnya.
Aku mengikuti arah telunjuknya, melihat ke kakinya dan ternyata sepatu dia yang pakai sama dengan yang aku pakai hari itu. Spontan mataku membelalak, tak menyangka akan ada yang "kembaran" denganku hari ini.
"Kok sama ?", ucapku dan dia berbarengan.
Seketika kami saling melihat dan kemudian tertawa kecil. Dia mengulurkan tangannya padaku.
"Hai, gue Adriana. Lo ? Jangan bilang kita sekampus juga deh ?", tanyanya.
"Milanka, panggil aja Anka. Kayanya kita sekampus deh, sama-sama naik bus ini kan ?", jawabku agak sok tahu.
Tak berapa lama, bus yang membawaku dan Adriana sampai di tempat yang kami tuju. Kampus. Aku berjalan agak mendahului Adriana, jamku sudah menunjukkan pukul 10.05, itu berarti aku terlambat 5 menit masuk ke kelasku dan kelasku ada di lantai 3. Lantai paling atas.
"Dri, gue duluan ya. Telat nih. Sampe nanti yaa", ucapku agak berteriak.
"Iya, hati-hati Anka", jawabnya ramah.
Aku lari terburu-buru mencapai kelasku yang paling atas. Aku menghela nafas, ternyata kelas belum dimulai. Dosenku yang super-sibuk-tukang-absen belum datang. Jadi aku masih sempat masuk dengan leluasa tanpa haru berbasa-basi menjawab pertanyaannya. Tak berapa lama, aku lihat pintu kelas terbuka lagi. Dan sosok Adriana, kulihat jelas berdiri disana. Ya, kami sekelas. Sebuah kesamaan LAGI ! Setelah melihatku, senyumnya mengembang lebar. Dia mengambil tempat duduk disebelahku, memindahkan tas tanpa pemilik ke bangku sebelahnya.
Sejak saat itu, aku dan Adriana akrab. Adriana-lah yang banyak menjadi tempat sampah ceritaku akan Indra. Bahkan mengapa kini dia ikut diam menemaniku di taman kampus juga karena dia tahu kalau teman baiknya sedang tak tahu arah.
"Anka, lo yakin masih mau terus sama Indra ? Lo masih kuat ? Lo mau nyembunyiin semua rasa sakit lo ini sendiri ? Kenapa enggak ngomong aja sih sama Indra ?", tanyanya dengan nada gemas.
"Coba lo yang jadi gue Dri", jawabku singkat.
"Gue mungkin enggak bisa jadi lo, tapi paling enggak semua masalah harus diselesein dong. Lo kan berkomitmen berdua. Masa lo pikirin ini sendiri ?", sahutnya kesal.
"Lo enggak tau Indra sih. Dia tuh enggak pernah mikir kalo hubungan ini ada masalah. Dia selalu mikir ini baik-baik aja. Kalaupun gue omongin, enggak pernah ada solusi berarti. Terus menurut lo, gue harus apa ?", jawabku ketus.
"Dia enggak bakalan ngerti salahnya dimana kalo lo enggak ngomong jujur sama dia. Lo enggak pernah bahas kan soal SG itu ? Kenapa sih ?", tanyanya lagi.
"Gue enggak mau sakit hati, gue setengah mati lupain kejadian itu", jawabku.
"Tapi nyatanya apa ? Lo enggak pernah lupa juga kan ?", tegasnya
Aku hanya bisa diam, tak menjawab Adriana. Rasanya sulit menjelaskan perasaanku pada siapapun. Pada diriku saja sudah sulit. Aku tak bisa memaksakan sakit hatiku untuk diam dan tak mengontrol semuanya tapi nihil. Tiba-tiba didepan tempat aku dan Adriana duduk, parkir sebuah sedan yang aku hafal betul itu milik siapa. Indra. Dia pasti tahu aku disini, ini tempat favoritku seusai mata kuliah yang melelahkan.
Indra berjalan menghampiri aku dan Adriana, wajahnya terlihat sumringah tanpa beban. Heran, kok manusia satu ini enggak peka banget ya ?, tanyaku dalam hati.
"Hai cantik", sapa Indra padaku sambil menjawil daguku. "Halo Dri", sapanya pada Adriana.
"Hai Ndra, tumben kesini ? Udah balik ngantor ? Kan masih jam 4 sore ?", tanya Adriana
"Gue mau jemput Anka. Di kantor lagi makan gaji buta", jawab Indra.
"Dijemput ? Emang aku minta jemput kamu ? Kayanya enggak deh, aku enggak sms apa-apa kok ke kamu", jawabku sambil menyedot teh botol dihadapanku.
"Emangnya aku jemput kamu kalo kamu minta aja ?", jawab Indra sambil nyengir.
"Hahahaha, lo berdua lucu. Udah ya, gue mau balik. Nanti malem Alan mau ngajak dinner. Gue mau nyalon. Dah Anka", ucap Adriana sambil cipika cipiki padaku.
"Dah", ucapku sambil tersenyum dan melambaikan lima jariku pada Adriana.
Aku melihat Adriana memberi kode padaku, dua telunjuknya dikaitkan. Katanya, itu kode perdamaian. Dia selalu memberikan kode itu padaku saat dia tahu aku dan Indra lagi perang dunia. Sebelum masuk ke mobil, dia tersenyum-kiss-bye padaku.
"Anka, kok kamu enggak ngabarin aku sih beberapa hari ini", tanya Indra yang kini sudah duduk disampingku. Dekat, dekat sekali.
"Emang harus ?", tanyaku singkat.
"Kamu selalu ngabarin aku kemanapun kamu pergi lho. Kemarin aja aku tahu kamu pergi sama Adriana dari mama", jawab Indra.
"Sejak kapan kamu pengen selalu tau aku kemana dan ngapain ? Segitu pentingnya buat kamu ?", tanyaku lagi. Kali ini dengan nada lebih ketus.
"Kamu kenapa sih ? Aku nanya baik-baik ya !", bentak Indra.
Aku langsung melihat mata Indra, menatapnya dalam-dalam. Ini bukan rasa marah karena dia membentakku, aku sudah tidak peduli. Ingin rasanya Indra tahu soal perubahanku tapi bukan dari aku. Sebegitu acuhkah Indra sampai bertanya sebuah hal berulang kali padaku ?
"Aku bukan malaikat yang bisa tahu apa isi hati dan kepala kamu", ucap Indra memecah keheningan kami.
"Aku juga bukan customer service yang bisa kamu tanya berulang kali", tantangku.
Indra marah. Aku tahu, aku kenal betul cara mata itu melihatku. Gurat-gurat wajah itu semakin jelas. Indra murka padaku. Tak lama Indra pergi, berjalan masuk ke mobilnya. Membanting pintu tapi tak meninggalkanku. Dia hanya membuka kaca dan mengisyaratkan aku agar segera masuk ke mobilnya. Aku diam, pura-pura tak melihat.
"Anka !", panggilnya tegas.
Akhirnya dengan langkah yang berat dan setumpuk rasa keterpaksaan aku berjalan perlahan menuju mobil Indra. Rasanya aku ingin kabur kalau tidak mengingat banyak orang ditaman kampus ini. Bisa-bisa aku terkenal besok di kampus, maklumlah kampusku kecil. Tiba-tiba telepon genggamku bergetar. Ada sebuah pesan singkat. Segera aku baca.
"Milanka, apa kabar ? Aku di Jakarta lho. Sekarang aku pindah kerja disini, dimutasi. Kapan-kapan ketemu ya. Salam buat mama. Ini nomor baruku, save ya. Take care dear ! BARRY"
Langkahku terhenti. Demi Tuhan, aku tak percaya ini nyata. Kembali aku baca pesan singkat itu. Oh, ini akan semakin menyulitkan keadaanku dan Indra. Barry kembali lagi.
***


- (oleh ameliaharahap - http://messynauli.blogspot.com)

Ind(e)ra Milik Milanka #3

Hari ini tepat dua hari setelah rabu basah itu. Aku masih tak berubah dengan Indra, masih penuh dengan diamku. Sementara Indra masih dengan rasa ketidak bersalahannya padaku. Rasa enggan untuk meneruskan ini semakin besar dan aku tidak tahu bagaimana memulainya. Indra terlalu kuat mengisi hari-hariku. Tiba-tiba, aku teringat pada kejadian yang menyakitkan itu. Kejadian yang membuatku jadi alien di mata Indra.
Aku dan Indra memulai semua ini dari sebuah persahabatan, persahabatan yang menyenangkan dikala itu. Indra adalah satu-satunya orang yang masih bersedia mengangkat teleponku bahkan ketika lewat tengah malam hanya untuk mendengarkan aku menangis. Indra yang menemani aku melewati masa-masa sulitku melupakan Shandy, tunanganku eh mantan tunanganku yang entah kemana rimbanya hingga kini sampai akhirnya aku dan Indra memutuskan untuk bersama, hingga suatu hari aku sakit, dan dokter memvonisku terkena kista dan operasi harus segera dilakukan.
 "Ndra, aku kena kista. Aku harus operasi malam ini. Temenin aku, aku takut L", kira-kira itu pesan singkat yang aku kirimkan pada Indra.
Ditengah kecemasanku menghadapi meja operasi ditambah dengan melihat raut wajah cemas mama, aku berharap Indra ada menemaniku. 5 jam sudah berlalu, sejak sms terakhir yang aku kirim pada Indra namun Indra tak juga datang. Jam sudah mendekati pukul 21.00 malam, aku harus segera masuk ruang operasi. Mama menyemangatiku dengan segala doa-doa yang dilantunkan untukku.
"Anka, yang kuat ya Nak. Mama tau, Anka pasti bisa. Mungkin Indra masih sibuk jadinya belum bisa hubungin Anka. Nanti kalo Indra dateng, mama langsung suruh tungguin Anka ya", ucap mama sambil mengelus rambutku.
Aku hanya mengangguk, mencoba tetap berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja dan meyakini dengan benar apa yang mama ucapkan soal Indra. Ternyata kekhawatiranku akan Indra mengalahkan kekhawatiranku tentang meja operasi. Seketika aku gelisah sembari menunggu operasiku dimulai.
Ruangan itu dingin, semakin dingin karena aku tidak mengenakan apapun selalin baju operasi dan penutup kepala. Ruangan itu bau obat, sangat menusuk. Tak lama datanglah dokter dan para perawat yang akan menanganiku. Saat itu, aku masih berharap ada Indra yang melihatku, tapi tidak ada. Seketika aku merasa ada yang masuk ke tubuhku dan melihat lampu besar seakan menimpaku dan aku terlelap.
***

Aku terbangun, sekelilingku sudah berbeda. Aku sudah berpindah tempat. Disisiku ada mama tetap tanpa Indra.
"Ma, Indra mana ?", itu pertanyaan pertamaku pada mama setelah membuka mata.
"Indra belum dateng sayang, belum ngabarin mama juga. Sabar ya", sahut mama sambil menenangkanku.
"Teleponku ma", ucapku sembari mengambil telepon genggam yang mama berikan padaku.
Dengan tidak sabar, aku melihat handphone-ku namun tak ada pesan singkat, telepon, mentions twitter juga pesan di yahoo messenger. Tak ada satupun, sa-tu-pun ! Seketika aku lemas, entah kemana Indra semalaman ini tanpa kabar. Aku coba menghubungi Indra, namun tidak aktif. Tak terasa air mataku meleleh, tumpah sejadi-jadinya. Mama segera memelukku.
"Ma, Anka mau sendiri dulu. Boleh kan ? Mama pulang aja, kan disini ada suster yang jagain Anka", pintaku pada mama.
"Anka yakin enggak apa-apa ?", tanya mama.
Aku menggeleng mantap. Aku yakin mama lebih mengerti aku. Mama hanya tersenyum kemudian memelukku dengan hangat seraya pergi meninggalkan kamar rawatku. Setelah mama pergi, aku menangis lagi mengeluarkan semua percampuran rasa yang menyiksa. Kemana Indra ? Kenapa dia tak ada ? Ada apa dengan Indra ? Pertanyaan-pertanyaan yang aku tahu tak akan terjawab sekarang. Ah, keadaan yang tak pernah aku suka kini terjadi lagi. Aku tak tahu harus apa sekarang, kepalaku pening.
Sudah hampir pukul 19.00 malam, belum ada kabar dari Indra. Aku hampir putus asa. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat lagi pada Indra.
"Ndra, i can't reach you. Call me, urgent !"
Lalu segera aku tekan tombol send dan tak beberapa lama layar teleponku menyala, laporan bahwa pesannya sudah terkirim. Alhamdulillah, aku agak lega. Eh, aku baru ingat mengapa aku tidak melihat timeline Indra. Segera aku buka akun twitter-ku dan mengetik @dimasindra pada kolom search. Dan...
@dimasindra dari SG nganter @rarasaraswati. Capek !
Itu status terakhir Indra yang di update kira-kira 15 menit yang lalu. Ternyata semalaman Indra ada di Singapura mengantar raras, perempuan yang aku kenali sebagai pacar teman lama Indra. Indra ternyata bisa pergi begitu saja tanpa menanyakan kabarku. Aku sudah tak lagi cemas kini, aku kecewa dan seketika tanpa aku sadari aku berubah.
***





- (oleh ameliaharahap - http://messynauli.blogspot.com)

Ind(e)ra Milik Milanka #2

Ternyata langit masih ingin bumi basah di rabu pagi ini. Dan aku masih betah dibalik selimutku. Pukul 08.00 pagi sekarang, biasanya sms ucapan selamat pagi dari Indra yang memulai senyumku tapi beberapa bulan terakhir tidak, aku menganggap itu permulaan yang buruk di pagi hari. Tapi ternyata aku memang belum beruntung, bukan sms yang datang tapi orang yang mengirim sms sudah tiba dirumahku. Dari jendela kamar kulihat, mobilnya sudah bertengger di halaman rumahku.
"Duh, ngapain sih pagi-pagi gini ? maksa banget !", ucapku kesal.
Tiba tiba, tok..tok..tok..
"Selamat pagi Naura Milanka, boleh aku masuk ? aku bawain sarapan lho buat kamu", suara Indra mengagetkanku. Dia sudah ada dibalik pintu kamarku.
"Masuk aja", jawabku.
Kemudian pintu kamarku terbuka, aku lihat Indra berdiri disana membawa nampan berisi sarapan dan susu cokelat hangat, favoritku. Indra mendekat, meletakkan nampan didepanku. Perlahan-lahan aku mengamati isinya, ada sepiring bubur ayam cakue lengkap dengan sambalnya, ada segelas air putih, dan segelas susu cokelat hangat. Seketika kamarku langsung beraroma bubur ayam. Indra beranjak lagi ke depan pintu kamarku, dia mengambil sesuatu lalu berjalan lagi kearahku, sebuah bouquet mawar putih dan lili cantik ada di genggaman tangannya. Aku hafal, jumlahnya pasti 22 tangkai. 11 tangkai mawar putih dan 11 tangkai bunga lili. 22 mewakili angka anniversary kami. Dia letakkan di pangkuanku seraya mengecup kening dan membelai rambutku kemudian kembali mengambil tempat di depanku.
"Jadi mau makan sendiri atau disuapin, tuan putri ?", tanya Indra.
"Aku sebenernya belum laper. Kamu kenapa pagi-pagi udah dirumahku ? kamu enggak ngantor ?", tanyaku kembali pada Indra.
"Lho ini bubur ayam cakue kesukaanmu kan ? aku beli ditempat biasa kok. Aku emang izin dari kantor, semalem semua kerjaanku untuk hari ini aku bawa pulang. Aku mau ajak jalan-jalan kamu", jelas Indra.
"Hmm, gitu ya ?", ucapku. Aku enggak tega menolak rasanya. Pantas Indra rapi sekali hari ini, masih tampan seperti 5 tahun lalu.
"Mau ya ?", tanya Indra. Mukanya memelas. Aku hafal betul, itu trik rayuan mautnya supaya aku kasihan. Muka nyengir-minta-ditabok-nya itu senjata paling ampuh untuk memaksaku.
"Ok deh. Tapi aku enggak mau buru-buru, aku mau mandi, hair-do dan lain-lain. Mau nunggu kan ? kalo enggak mau yaudah", jawabku agak ketus.
"Siapa takut ? aku tunggu diruang tengah ya", tantang Indra sembari mengecup pipiku kemudian berlalu keluar kamar.
Aku menghela nafas panjang, ingin rasanya aku menolak tapi rasanya kasihan. Hujan-hujan begini dia sudah datang dengan sarapan dan bunga kesukaanku. Terkadang aku tahu kalau Indra memang manis tapi entah kenapa sisi menyebalkan dari manusia satu itu yang selalu aku ingat. Aku belum sepenuhnya bisa memaafkan Indra. Ya, aku belum bisa...
Kira-kira satu jam kemudian aku keluar kamar menemui Indra yang sedang berbincang dengan mama diruang tengah. Seperti biasa, mama dan Indra kompak menonton variety show di salah satu stasiun tv lokal.
"Pagi mama", sapaku pada mama sambil mencium pipi mama.
"Aku enggak ikut dicium nih ?", goda Indra, membuat mama tertawa kecil.
"Kalian mau kemana ?", tanya mama.
"Saya mau ajak Anka jalan-jalan ma, rasanya dia perlu refreshing. Anka jutek terus sama saya beberapa hari ini", jawab Indra
Keningku mengerut, "brengsek banget manusia satu ini", rutukku dalam hati. Bisa-bisanya mengkambing hitamkan aku, padahal sebab musababnya dia sendiri. Aku hanya bisa tersenyum simpul menatap mama dan Indra.
"Yuk, nanti terlalu siang malah enggak enak jalan-jalannya", ucapku cepat berusaha untuk menghentikan Indra supaya tak berucap macam-macam lagi pada mama.
"Ma, saya pamit dulu ya. Anka enggak saya pulangin malem-malem kok", pamit Indra pada mama seraya mencium punggung tangan mama.
"Iya ndra, pulanginnya pagi aja ya sekalian hahahaha", jawab mama sambil tertawa. Aku heran, sejak kapan mama ngelawak gitu.
"Maunya sih gitu ma, mau aku bawa pulang sekalian nemenin aku lembur dirumah hahaha", ucap Indra lagi.
"Udah udah, kenapa jadi malah ngelawak ? kapan berangkatnya ? pergi dulu ya ma", sahutku sambil mencium mama dan melambaikan tangan.
"Hati-hati ya, have fun dear", teriak mama.
Indra berlari kecil membukakan pintu mobil untukku, masih hujan. Aku masuk ke mobil. Dari kaca spion aku lihat Indra masih sibuk berbincang dengan mama sebentar kemudian berlari membuka pagar rumah. Entah akan jadi apa hari ini, aku duduk disebelah Indra dengan setengah hati. Dengan keengganan yang luar biasa namun aku tutupi. Aku pergi dengan topeng kepura-puraanku.
"Sudah siap Anka ? let's go !", tanya Indra semangat.
Aku hanya mengangguk. Yang aku tahu, yang pergi dengan Indra saat ini bukan aku, tapi kemarahanku. Ini aku yang bukan diriku. Tak terasa aku menangis, segera aku hapus air kemarahanku. Aku tak ingin Indra tahu kepalsuanku.
***


- (oleh @ameliaharahap - http://messynauli.blogspot.com)

Ind(e)ra Milik Milanka

Selasa sore itu gerimis, aku berlari-lari kecil menuju halte dekat kampus.Aku heran. Halte yang biasanya ramai, kali itu sepi. Aku duduk sendiri disana, menunggu bus yang akan mengantarku pulang. Tiba-tibasmartphone-ku berbunyi, ringtone pesan singkat.

Kamu dimana ? udah selesai kuliah ? cepat pulang ya, hujan bakalan deras. Kabarin aku kalo udah dirumah” Aku menarik nafas panjang setelah membacanya. Dari Indra, pacarku.
Hah, kalo sms cuma mau kasih tau bakalan hujan deras sih buat apa ? aku juga tau”, gerutuku.

Aku lalu memasukkan smartphone-ku ke dalam tas. Aku enggan membalas pesan singkat itu. Tak lama, bus-ku pun datang, aku segera naik dan mengambil tempat duduk di belakang kiri, dekat jendela, tempat favoritku.

Aku melirik arloji digitalku yang basah terkena tetesan hujan, hari ini tanggal 7 September 2010 berarti lima belas hari lagi tepat lima tahun aku dan Indra bersama. Entah kenapa, aku tak lagi antusias seperti tahun-tahun yang lalu. Jenuh. Aku malah sedang merasa hubunganku dengan Indra ada di ujung tanduk, herannya Indra tak merasakan yang aku rasakan. Dia asik-asik aja tuh.

Teleponku berdering, seketika bait-bait Love Song dari Sara Bareilles mengalun cukup kencang. Ya, itu pasti Indra. Dengan keengganan, aku angkat teleponku.

Halo anka, kamu dimana ? kok sms aku enggak dibales ? enggak dibaca ?”, suara Indra diseberang sana segera memberondongku dengan pertanyaan.
Hai, aku dijalan pulang. Belum sempat baca sms kamu. Enggak denger kalo ada sms”, jawabku sekenanya.
Oh gitu. Kamu enggak apa-apa kan ? kayanya bete banget. Bete sama aku ya ?”, sahut Indra yang sepertinya tahu betul aku lagi ‘apa-apa.
Enggak apa-apa kok”, sahutku datar.
Yaudah kalo enggak apa-apa. Hati-hati ya pulangnya. Maaf aku enggak bisa jemput, kerjaanku numpuk sayang”, sahut Indra mesra.
Iya, aku ngerti kok. Yaudah lanjutin kerjanya biar kamu enggak lembur. I’ll catch you later ndra”, jawabku.
Ok, wait for me come home ya wifey. Bye”, ucap Indra sambil menutup telepon diseberang sana.

Aku terdiam sejenak setelah percakapan singkat ditelepon itu. Heran. Sejak dua tahun terakhir, aku merasa ada yang salah dengan hubungan ini tapi entah mengapa Indra tidak merasa seperti itu. Dia bahkan selalu menganggap hubungan kami baik-baik saja. Tak pernah ada permasalahan berarti, namun justru permasalahan yang dianggap Indra tidak berarti jadi berarti untukku.

Lebak bulus, terminal yok enggak masuk, enggak masuk”, suara kernet bus tiba-tiba membuyarkan pikiranku.
Kiri bang”, ucapku.

Air dari langit masih tercurah ketika aku berjalan pelan menuju rumah. Hujan gerimis. Ini juga favoritku, Indra tahu betul hal itu. Ah, kenapa Indra lagi ? Aku ingin lupa sejenak rasanya soal hubungan ini. Kira-kira lima rumah dari rumahku, hujan tiba-tiba turun deras. Aku berlari tergopoh-gopoh sembari menutupi kepalaku dari tetesan air langit dengan koran tadi pagi. Sampai didepan rumah, aku membuka dan kembali menutup pagar. Aku membanting tepatnya. Mama keluar dari pintu rumah membawa payung. Tatapannya hangat.

Anka enggak bisa pelan-pelan buka pagarnya ?”, ucap mama lembut.
Maaf ma, anka enggak mau kehujanan. Takut sakit. Anka lagi banyak tugas soalnya”, jawabku sembari berlindung dibawah payung yang dibawa mama.
Yaudah, cepat mandi terus makan ya. Mama sudah buatkan sup jagung kesukaanmu”, lanjut mama lagi.
Makasih mama sayang”, sahutku sambil mengecup pipi lembut mama.

Alhamdulillah, paling tidak ditengah pikiranku yang kacau tentang hubunganku, hari ini aku tetap bisa menikmati tiga hal favoritku. Duduk di sebelah kiri belakang bus dekat jendela, menikmati hujan gerimis, dan sebentar lagi menikmati sup jagung buatan mama. Tanpa kusadari kalau tiga hal tersebut telah menjadi hal favorit Indra juga selama denganku. Ah Indra lagi…

***

Aku terbangun, kepalaku pusing. Jam 01.45. Ah, aku ketiduran. Pasti gara-gara badanku hangat setelah menyantap sup jagung buatan mama. Aku baru ingat sudah enam jam lebih empat puluh lima menit, aku belum mengabari Indra sejak aku terlelap jam 19.00 malam tadi.

Aku segera beranjak dari tempat tidur, teleponku masih ada di tas sejak pulang dari kampus tadi. Benar saja, ada tiga pesan singkat dan limamisscalled dari Indra. Ada sedikit perasaan bersalah menyeruak. Langsung ku tekan angka 2, speed dial untuk Indra. Alhamdulillah, teleponnya masih aktif.

Ndra, kamu udah tidur ya ? maaf ya, aku ketiduran. Aku enggak sempat sms kamu pas udah dirumah. Aku buru-buru mandi terus makan habis itu langsung masuk kamar, eh ketiduran. Maaf ya”, jelasku panjang lebar pada Indra.
Hei hei hei, kamu kok kaya orang ketakutan gitu. Enggak apa-apa cantik. Aku ngerti, ini kali pertama kamu ninggalin aku tidur duluan. Biasanya kan aku. Aku tau, kamu pasti capek”, sahut Indra. Suaranya masih segar.
Aku enggak enak aja, tapi kamu enggak nungguin kabarku kan ?”, ucapku lagi tanpa sedikitpun rasa bersalah.
Siapa bilang aku enggak nyariin kamu ? aku telepon ke mama kamu kok”, ucap Indra sewot
Oh ya ? kamu sendiri kenapa belum tidur ?”, tanyaku.
Aku tadi pulang cepet, harusnya lembur tapi aku bawa kerjaanku kerumah. Tadi niatnya mau sambil skype-ing sama kamu. Eh kamunya tidur”, jawab Indra.
Maaf”, ucapku singkat.
Enggak apa-apa. Kamu mau tidur lagi atau gimana ? besok enggak ada kuliah kan ? jalan-jalan yuk ?”, ucap Indra masih dengan nada sabar dan antusias. Jelas beda denganku.
Aku mau tidur lagi, kepalaku pusing kena hujan. Iya besok libur kok. Jalan ? hmm, besok aku kabarin ya”, jawabku.
Hmm, oke kalo gitu”, ucap Indra. Ada nada kekecewaan terdengar disana.
tut..tut..tut. Teleponnya terputus. Teleponku mati, baterenya habis. Entah kenapa aku menarik nafas lega, seperti terbebas dari percakapan basa-basi yang menurutku tidak penting.

Sepuluh menit kemudian, aku baru menancapkan charger ke teleponku. Tak lama ada satu pesan singkat masuk, aku yakin itu dari Indra. Setengah hati aku membukanya, rasa penasaran menyeruak. Benar saja, Indra…

Anka, aku kangen kamu. Aku kangen Milanka-ku. Aku tau kamu lagi kenapa-kenapa. Kamu dingin. Aku juga tau kamu enggak akan tidur lagi habis ini. Aku kenal kamu, kamu enggak bisa tidur kalo udah kebangun. Apapun itu, aku sayang sekali sama kamu. Besok kabarin aku ya. Love u wifey..

Tak terasa, air hangat mengalir di pipiku. Ini bukan air mata bersalah, ini air mata kemarahan. Kemarahan dari perlakuan Indra dua tahun lalu, kemarahan yang menyiksa diriku, kemarahan yang tak bisa aku lupakan. Spontan aku hapus pesan yang lebih mirip curhatan itu, tak ingin aku balas.

Sayang ya ndra, kamu enggak pernah ngerti rasanya jadi aku”, ucapku sambil menatap frame fotoku dan Indra. Yang aku lihat itu sepenggal masa lalu.


***



Entah kenapa seminggu ini lagi banyak banget masalah yg dateng ke gue. Masalah pribadi, tekanan keluarga, terutama sekolah. Yah.. cobaan untuk menjadi lebih dewasa, lagi diuji cara pikirnya mungkin sama Allah.
Gue selalu nyoba buat sabar, nerima nerima sampe akhirnya gue capek sendiri. Gue juga mau pendapat gue didenger, gue jg mau dapet hak yg emang buat gue. Tapi gak ada yg ngerti.
Terlalu capek sama kebohongan, capek sama omongan-omongan manis yang cuma harapan palsu, capek sama semua tuntutan yang dateng ke gue. Gue jg mau diperhatiin, dihargain..
Gue butuh temen cerita, tapi sama siapa.. Pengen rasanya punya temen yg bisa dengerin cerita lagi, ya walaupun semua temen-temen gue mau dengerin cerita gue dan mereka emang baik banget, tapi gue mau ada yg bener-bener trully ngerti.
Terlalu banyak curhatan gue diMemoPad bb, pikiran-pikiran depresi gue. Entah itu masalah sekolah yg makin lama makin gila, they're thinking that we're a robot, not a human, we need a little time to get some rest. Atau masalah seseorang yang gak ada abisnya, tapi ngerti sekarang, i'm not that "important" now. Yaa.. it's ok. I always have a self motivation for my self (of course i didn't tweet that, thats for urself huh?:p), i control my heart to take it easy, someday he will regret for what he did to me, he will search me and i didn't care bout him again. That's what we called Karma.
Tiap sendirian, dijalanan, pas lagi jalan sendiri, atau lg nunggu dipinggir jalan kayak tadi, gue suka bengong. Mikirin apa salah gue sampe semuanya dateng tiba-tiba kayak gini.
Gue gak akan berlebihan, kalo semuanya ada kejelasan, bukan cuma omongan-omongan gak masuk akal.

Latihan kesabaran, harus sabar nis..santai aja:)

Saturday, September 10, 2011

2 Taun, Jutaan Kenangan.

Baru aja ngeliat-liat full conversation with him difacebook. Liat message, kebuka tanggal 23 Agustus 2009. 2 taun yang lalu..
Baca baca baca makin lama makin frustasi.
2 taun yang lalu, dia masih jadiin aku yg nomor satu.
2 taun yang lalu, dia bilang hpnya sepi kalo gak ada aku.
2 taun yang lalu, dia masih nanya-nanya tentang kehidupanku.
2 taun yang lalu, pertama kalinya dia nelfon aku, aku lagi makan dengan kesenengan yang terlalu menyatu. :)
Lelaki yang amat sangat baik, sabar, pengertian, dan lucu.

Sekarang udah berubah. Sekarang bukan 2 taun yang lalu.
Yah.. mencoba buat nerima semuanya.

Semua pasti baik-baik aja kok :)

Tuesday, September 6, 2011

You Lost Me

I am done, smoking gun
We've lost it all, the love is gone
She has won. Now it's no fun
We've lost it all, the love is gone

And we had magic
And this is tragic
You couldn't keep your hands to yourself


I feel like our world's been infected
And somehow you left me neglected
We found our life's been changed
Babe, you lost me


Now I know you're sorry and we were sweet
But you choose lust when you deceived me
You'll regret it but it's too late
How can I ever trust you again?

 

Babe, you lost me