Selasa sore itu gerimis, aku berlari-lari kecil menuju halte dekat kampus.Aku heran. Halte yang biasanya ramai, kali itu sepi. Aku duduk sendiri disana, menunggu bus yang akan mengantarku pulang. Tiba-tibasmartphone-ku berbunyi, ringtone pesan singkat.
“Kamu dimana ? udah selesai kuliah ? cepat pulang ya, hujan bakalan deras. Kabarin aku kalo udah dirumah” Aku menarik nafas panjang setelah membacanya. Dari Indra, pacarku.
“Hah, kalo sms cuma mau kasih tau bakalan hujan deras sih buat apa ? aku juga tau”, gerutuku.
Aku lalu memasukkan smartphone-ku ke dalam tas. Aku enggan membalas pesan singkat itu. Tak lama, bus-ku pun datang, aku segera naik dan mengambil tempat duduk di belakang kiri, dekat jendela, tempat favoritku.
Aku
melirik arloji digitalku yang basah terkena tetesan hujan, hari ini
tanggal 7 September 2010 berarti lima belas hari lagi tepat lima tahun
aku dan Indra bersama. Entah kenapa, aku tak lagi antusias seperti
tahun-tahun yang lalu. Jenuh. Aku malah sedang merasa hubunganku dengan
Indra ada di ujung tanduk, herannya Indra tak merasakan yang aku
rasakan. Dia asik-asik aja tuh.
Teleponku berdering, seketika bait-bait Love Song dari Sara Bareilles mengalun cukup kencang. Ya, itu pasti Indra. Dengan keengganan, aku angkat teleponku.
“Halo anka, kamu dimana ? kok sms aku enggak dibales ? enggak dibaca ?”, suara Indra diseberang sana segera memberondongku dengan pertanyaan.
“Hai, aku dijalan pulang. Belum sempat baca sms kamu. Enggak denger kalo ada sms”, jawabku sekenanya.
“Oh gitu. Kamu enggak apa-apa kan ? kayanya bete banget. Bete sama aku ya ?”, sahut Indra yang sepertinya tahu betul aku lagi ‘apa-apa.
“Enggak apa-apa kok”, sahutku datar.
“Yaudah kalo enggak apa-apa. Hati-hati ya pulangnya. Maaf aku enggak bisa jemput, kerjaanku numpuk sayang”, sahut Indra mesra.
“Iya, aku ngerti kok. Yaudah lanjutin kerjanya biar kamu enggak lembur. I’ll catch you later ndra”, jawabku.
“Ok, wait for me come home ya wifey. Bye”, ucap Indra sambil menutup telepon diseberang sana.
Aku
terdiam sejenak setelah percakapan singkat ditelepon itu. Heran. Sejak
dua tahun terakhir, aku merasa ada yang salah dengan hubungan ini tapi
entah mengapa Indra tidak merasa seperti itu. Dia bahkan selalu
menganggap hubungan kami baik-baik saja. Tak pernah ada permasalahan
berarti, namun justru permasalahan yang dianggap Indra tidak berarti
jadi berarti untukku.
“Lebak bulus, terminal yok enggak masuk, enggak masuk”, suara kernet bus tiba-tiba membuyarkan pikiranku.
“Kiri bang”, ucapku.
Air
dari langit masih tercurah ketika aku berjalan pelan menuju rumah.
Hujan gerimis. Ini juga favoritku, Indra tahu betul hal itu. Ah, kenapa
Indra lagi ? Aku ingin lupa sejenak rasanya soal hubungan ini. Kira-kira
lima rumah dari rumahku, hujan tiba-tiba turun deras. Aku berlari
tergopoh-gopoh sembari menutupi kepalaku dari tetesan air langit dengan
koran tadi pagi. Sampai didepan rumah, aku membuka dan kembali menutup
pagar. Aku membanting tepatnya. Mama keluar dari pintu rumah membawa
payung. Tatapannya hangat.
“Anka enggak bisa pelan-pelan buka pagarnya ?”, ucap mama lembut.
“Maaf ma, anka enggak mau kehujanan. Takut sakit. Anka lagi banyak tugas soalnya”, jawabku sembari berlindung dibawah payung yang dibawa mama.
“Yaudah, cepat mandi terus makan ya. Mama sudah buatkan sup jagung kesukaanmu”, lanjut mama lagi.
“Makasih mama sayang”, sahutku sambil mengecup pipi lembut mama.
Alhamdulillah,
paling tidak ditengah pikiranku yang kacau tentang hubunganku, hari ini
aku tetap bisa menikmati tiga hal favoritku. Duduk di sebelah kiri
belakang bus dekat jendela, menikmati hujan gerimis, dan sebentar lagi
menikmati sup jagung buatan mama. Tanpa kusadari kalau tiga hal tersebut
telah menjadi hal favorit Indra juga selama denganku. Ah Indra lagi…
***
Aku
terbangun, kepalaku pusing. Jam 01.45. Ah, aku ketiduran. Pasti
gara-gara badanku hangat setelah menyantap sup jagung buatan mama. Aku
baru ingat sudah enam jam lebih empat puluh lima menit, aku belum
mengabari Indra sejak aku terlelap jam 19.00 malam tadi.
Aku
segera beranjak dari tempat tidur, teleponku masih ada di tas sejak
pulang dari kampus tadi. Benar saja, ada tiga pesan singkat dan limamisscalled dari Indra. Ada sedikit perasaan bersalah menyeruak. Langsung ku tekan angka 2, speed dial untuk Indra. Alhamdulillah, teleponnya masih aktif.
“Ndra,
kamu udah tidur ya ? maaf ya, aku ketiduran. Aku enggak sempat sms kamu
pas udah dirumah. Aku buru-buru mandi terus makan habis itu langsung
masuk kamar, eh ketiduran. Maaf ya”, jelasku panjang lebar pada Indra.
“Hei
hei hei, kamu kok kaya orang ketakutan gitu. Enggak apa-apa cantik. Aku
ngerti, ini kali pertama kamu ninggalin aku tidur duluan. Biasanya kan
aku. Aku tau, kamu pasti capek”, sahut Indra. Suaranya masih segar.
“Aku enggak enak aja, tapi kamu enggak nungguin kabarku kan ?”, ucapku lagi tanpa sedikitpun rasa bersalah.
“Siapa bilang aku enggak nyariin kamu ? aku telepon ke mama kamu kok”, ucap Indra sewot
“Oh ya ? kamu sendiri kenapa belum tidur ?”, tanyaku.
“Aku
tadi pulang cepet, harusnya lembur tapi aku bawa kerjaanku kerumah.
Tadi niatnya mau sambil skype-ing sama kamu. Eh kamunya tidur”, jawab Indra.
“Maaf”, ucapku singkat.
“Enggak apa-apa. Kamu mau tidur lagi atau gimana ? besok enggak ada kuliah kan ? jalan-jalan yuk ?”, ucap Indra masih dengan nada sabar dan antusias. Jelas beda denganku.
“Aku mau tidur lagi, kepalaku pusing kena hujan. Iya besok libur kok. Jalan ? hmm, besok aku kabarin ya”, jawabku.
“Hmm, oke kalo gitu”, ucap Indra. Ada nada kekecewaan terdengar disana.
tut..tut..tut. Teleponnya
terputus. Teleponku mati, baterenya habis. Entah kenapa aku menarik
nafas lega, seperti terbebas dari percakapan basa-basi yang menurutku
tidak penting.
Sepuluh menit kemudian, aku baru menancapkan charger ke
teleponku. Tak lama ada satu pesan singkat masuk, aku yakin itu dari
Indra. Setengah hati aku membukanya, rasa penasaran menyeruak. Benar
saja, Indra…
“Anka,
aku kangen kamu. Aku kangen Milanka-ku. Aku tau kamu lagi
kenapa-kenapa. Kamu dingin. Aku juga tau kamu enggak akan tidur lagi
habis ini. Aku kenal kamu, kamu enggak bisa tidur kalo udah kebangun.
Apapun itu, aku sayang sekali sama kamu. Besok kabarin aku ya. Love u
wifey..”
Tak
terasa, air hangat mengalir di pipiku. Ini bukan air mata bersalah, ini
air mata kemarahan. Kemarahan dari perlakuan Indra dua tahun lalu,
kemarahan yang menyiksa diriku, kemarahan yang tak bisa aku lupakan.
Spontan aku hapus pesan yang lebih mirip curhatan itu, tak ingin aku
balas.
“Sayang ya ndra, kamu enggak pernah ngerti rasanya jadi aku”, ucapku sambil menatap frame fotoku dan Indra. Yang aku lihat itu sepenggal masa lalu.
***
No comments:
Post a Comment