Friday, September 16, 2011

Ind(e)ra Milik Milanka #2

Ternyata langit masih ingin bumi basah di rabu pagi ini. Dan aku masih betah dibalik selimutku. Pukul 08.00 pagi sekarang, biasanya sms ucapan selamat pagi dari Indra yang memulai senyumku tapi beberapa bulan terakhir tidak, aku menganggap itu permulaan yang buruk di pagi hari. Tapi ternyata aku memang belum beruntung, bukan sms yang datang tapi orang yang mengirim sms sudah tiba dirumahku. Dari jendela kamar kulihat, mobilnya sudah bertengger di halaman rumahku.
"Duh, ngapain sih pagi-pagi gini ? maksa banget !", ucapku kesal.
Tiba tiba, tok..tok..tok..
"Selamat pagi Naura Milanka, boleh aku masuk ? aku bawain sarapan lho buat kamu", suara Indra mengagetkanku. Dia sudah ada dibalik pintu kamarku.
"Masuk aja", jawabku.
Kemudian pintu kamarku terbuka, aku lihat Indra berdiri disana membawa nampan berisi sarapan dan susu cokelat hangat, favoritku. Indra mendekat, meletakkan nampan didepanku. Perlahan-lahan aku mengamati isinya, ada sepiring bubur ayam cakue lengkap dengan sambalnya, ada segelas air putih, dan segelas susu cokelat hangat. Seketika kamarku langsung beraroma bubur ayam. Indra beranjak lagi ke depan pintu kamarku, dia mengambil sesuatu lalu berjalan lagi kearahku, sebuah bouquet mawar putih dan lili cantik ada di genggaman tangannya. Aku hafal, jumlahnya pasti 22 tangkai. 11 tangkai mawar putih dan 11 tangkai bunga lili. 22 mewakili angka anniversary kami. Dia letakkan di pangkuanku seraya mengecup kening dan membelai rambutku kemudian kembali mengambil tempat di depanku.
"Jadi mau makan sendiri atau disuapin, tuan putri ?", tanya Indra.
"Aku sebenernya belum laper. Kamu kenapa pagi-pagi udah dirumahku ? kamu enggak ngantor ?", tanyaku kembali pada Indra.
"Lho ini bubur ayam cakue kesukaanmu kan ? aku beli ditempat biasa kok. Aku emang izin dari kantor, semalem semua kerjaanku untuk hari ini aku bawa pulang. Aku mau ajak jalan-jalan kamu", jelas Indra.
"Hmm, gitu ya ?", ucapku. Aku enggak tega menolak rasanya. Pantas Indra rapi sekali hari ini, masih tampan seperti 5 tahun lalu.
"Mau ya ?", tanya Indra. Mukanya memelas. Aku hafal betul, itu trik rayuan mautnya supaya aku kasihan. Muka nyengir-minta-ditabok-nya itu senjata paling ampuh untuk memaksaku.
"Ok deh. Tapi aku enggak mau buru-buru, aku mau mandi, hair-do dan lain-lain. Mau nunggu kan ? kalo enggak mau yaudah", jawabku agak ketus.
"Siapa takut ? aku tunggu diruang tengah ya", tantang Indra sembari mengecup pipiku kemudian berlalu keluar kamar.
Aku menghela nafas panjang, ingin rasanya aku menolak tapi rasanya kasihan. Hujan-hujan begini dia sudah datang dengan sarapan dan bunga kesukaanku. Terkadang aku tahu kalau Indra memang manis tapi entah kenapa sisi menyebalkan dari manusia satu itu yang selalu aku ingat. Aku belum sepenuhnya bisa memaafkan Indra. Ya, aku belum bisa...
Kira-kira satu jam kemudian aku keluar kamar menemui Indra yang sedang berbincang dengan mama diruang tengah. Seperti biasa, mama dan Indra kompak menonton variety show di salah satu stasiun tv lokal.
"Pagi mama", sapaku pada mama sambil mencium pipi mama.
"Aku enggak ikut dicium nih ?", goda Indra, membuat mama tertawa kecil.
"Kalian mau kemana ?", tanya mama.
"Saya mau ajak Anka jalan-jalan ma, rasanya dia perlu refreshing. Anka jutek terus sama saya beberapa hari ini", jawab Indra
Keningku mengerut, "brengsek banget manusia satu ini", rutukku dalam hati. Bisa-bisanya mengkambing hitamkan aku, padahal sebab musababnya dia sendiri. Aku hanya bisa tersenyum simpul menatap mama dan Indra.
"Yuk, nanti terlalu siang malah enggak enak jalan-jalannya", ucapku cepat berusaha untuk menghentikan Indra supaya tak berucap macam-macam lagi pada mama.
"Ma, saya pamit dulu ya. Anka enggak saya pulangin malem-malem kok", pamit Indra pada mama seraya mencium punggung tangan mama.
"Iya ndra, pulanginnya pagi aja ya sekalian hahahaha", jawab mama sambil tertawa. Aku heran, sejak kapan mama ngelawak gitu.
"Maunya sih gitu ma, mau aku bawa pulang sekalian nemenin aku lembur dirumah hahaha", ucap Indra lagi.
"Udah udah, kenapa jadi malah ngelawak ? kapan berangkatnya ? pergi dulu ya ma", sahutku sambil mencium mama dan melambaikan tangan.
"Hati-hati ya, have fun dear", teriak mama.
Indra berlari kecil membukakan pintu mobil untukku, masih hujan. Aku masuk ke mobil. Dari kaca spion aku lihat Indra masih sibuk berbincang dengan mama sebentar kemudian berlari membuka pagar rumah. Entah akan jadi apa hari ini, aku duduk disebelah Indra dengan setengah hati. Dengan keengganan yang luar biasa namun aku tutupi. Aku pergi dengan topeng kepura-puraanku.
"Sudah siap Anka ? let's go !", tanya Indra semangat.
Aku hanya mengangguk. Yang aku tahu, yang pergi dengan Indra saat ini bukan aku, tapi kemarahanku. Ini aku yang bukan diriku. Tak terasa aku menangis, segera aku hapus air kemarahanku. Aku tak ingin Indra tahu kepalsuanku.
***


- (oleh @ameliaharahap - http://messynauli.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment