Ternyata
langit masih ingin bumi basah di rabu pagi ini. Dan aku masih betah
dibalik selimutku. Pukul 08.00 pagi sekarang, biasanya sms ucapan
selamat pagi dari Indra yang memulai senyumku tapi beberapa bulan
terakhir tidak, aku menganggap itu permulaan yang buruk di pagi hari.
Tapi ternyata aku memang belum beruntung, bukan sms yang datang tapi
orang yang mengirim sms sudah tiba dirumahku. Dari jendela kamar
kulihat, mobilnya sudah bertengger di halaman rumahku.
"Duh, ngapain sih pagi-pagi gini ? maksa banget !", ucapku kesal.
Tiba tiba, tok..tok..tok..
"Selamat pagi Naura Milanka, boleh aku masuk ? aku bawain sarapan lho buat kamu", suara Indra mengagetkanku. Dia sudah ada dibalik pintu kamarku.
"Masuk aja", jawabku.
Kemudian
pintu kamarku terbuka, aku lihat Indra berdiri disana membawa nampan
berisi sarapan dan susu cokelat hangat, favoritku. Indra mendekat,
meletakkan nampan didepanku. Perlahan-lahan aku mengamati isinya, ada
sepiring bubur ayam cakue lengkap dengan sambalnya, ada segelas air
putih, dan segelas susu cokelat hangat. Seketika kamarku langsung
beraroma bubur ayam. Indra beranjak lagi ke depan pintu kamarku, dia
mengambil sesuatu lalu berjalan lagi kearahku, sebuah bouquet
mawar putih dan lili cantik ada di genggaman tangannya. Aku hafal,
jumlahnya pasti 22 tangkai. 11 tangkai mawar putih dan 11 tangkai bunga
lili. 22 mewakili angka anniversary kami. Dia letakkan di pangkuanku seraya mengecup kening dan membelai rambutku kemudian kembali mengambil tempat di depanku.
"Jadi mau makan sendiri atau disuapin, tuan putri ?", tanya Indra.
"Aku sebenernya belum laper. Kamu kenapa pagi-pagi udah dirumahku ? kamu enggak ngantor ?", tanyaku kembali pada Indra.
"Lho
ini bubur ayam cakue kesukaanmu kan ? aku beli ditempat biasa kok. Aku
emang izin dari kantor, semalem semua kerjaanku untuk hari ini aku bawa
pulang. Aku mau ajak jalan-jalan kamu", jelas Indra.
"Hmm, gitu ya ?", ucapku. Aku enggak tega menolak rasanya. Pantas Indra rapi sekali hari ini, masih tampan seperti 5 tahun lalu.
"Mau ya ?",
tanya Indra. Mukanya memelas. Aku hafal betul, itu trik rayuan mautnya
supaya aku kasihan. Muka nyengir-minta-ditabok-nya itu senjata paling
ampuh untuk memaksaku.
"Ok deh. Tapi aku enggak mau buru-buru, aku mau mandi, hair-do dan lain-lain. Mau nunggu kan ? kalo enggak mau yaudah", jawabku agak ketus.
"Siapa takut ? aku tunggu diruang tengah ya", tantang Indra sembari mengecup pipiku kemudian berlalu keluar kamar.
Aku
menghela nafas panjang, ingin rasanya aku menolak tapi rasanya kasihan.
Hujan-hujan begini dia sudah datang dengan sarapan dan bunga
kesukaanku. Terkadang aku tahu kalau Indra memang manis tapi entah
kenapa sisi menyebalkan dari manusia satu itu yang selalu aku ingat. Aku
belum sepenuhnya bisa memaafkan Indra. Ya, aku belum bisa...
Kira-kira
satu jam kemudian aku keluar kamar menemui Indra yang sedang berbincang
dengan mama diruang tengah. Seperti biasa, mama dan Indra kompak
menonton variety show di salah satu stasiun tv lokal.
"Pagi mama", sapaku pada mama sambil mencium pipi mama.
"Aku enggak ikut dicium nih ?", goda Indra, membuat mama tertawa kecil.
"Kalian mau kemana ?", tanya mama.
"Saya mau ajak Anka jalan-jalan ma, rasanya dia perlu refreshing. Anka jutek terus sama saya beberapa hari ini", jawab Indra
Keningku mengerut, "brengsek banget manusia satu ini",
rutukku dalam hati. Bisa-bisanya mengkambing hitamkan aku, padahal
sebab musababnya dia sendiri. Aku hanya bisa tersenyum simpul menatap
mama dan Indra.
"Yuk, nanti terlalu siang malah enggak enak jalan-jalannya", ucapku cepat berusaha untuk menghentikan Indra supaya tak berucap macam-macam lagi pada mama.
"Ma, saya pamit dulu ya. Anka enggak saya pulangin malem-malem kok", pamit Indra pada mama seraya mencium punggung tangan mama.
"Iya ndra, pulanginnya pagi aja ya sekalian hahahaha", jawab mama sambil tertawa. Aku heran, sejak kapan mama ngelawak gitu.
"Maunya sih gitu ma, mau aku bawa pulang sekalian nemenin aku lembur dirumah hahaha", ucap Indra lagi.
"Udah udah, kenapa jadi malah ngelawak ? kapan berangkatnya ? pergi dulu ya ma", sahutku sambil mencium mama dan melambaikan tangan.
"Hati-hati ya, have fun dear", teriak mama.
Indra
berlari kecil membukakan pintu mobil untukku, masih hujan. Aku masuk ke
mobil. Dari kaca spion aku lihat Indra masih sibuk berbincang dengan
mama sebentar kemudian berlari membuka pagar rumah. Entah akan jadi apa
hari ini, aku duduk disebelah Indra dengan setengah hati. Dengan
keengganan yang luar biasa namun aku tutupi. Aku pergi dengan topeng
kepura-puraanku.
"Sudah siap Anka ? let's go !", tanya Indra semangat.
Aku
hanya mengangguk. Yang aku tahu, yang pergi dengan Indra saat ini bukan
aku, tapi kemarahanku. Ini aku yang bukan diriku. Tak terasa aku
menangis, segera aku hapus air kemarahanku. Aku tak ingin Indra tahu
kepalsuanku.
***
- (oleh @ameliaharahap - http://messynauli.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment