Sore
itu, aku duduk di taman kampus menikmati sore yang berangin. Adriana
yang menemaniku, dia tampak bingung melihatku mematung. Aku tahu, dia
ingin bicara tapi nampaknya dirinya sudah lebih mengenalku daripada
diriku sendiri. Adriana adalah teman baikku di kampus, kami berkenalan
dengan cara yang tidak menyenangkan.
Waktu itu aku memakai sepatu kesayanganku, sebuah flat shoes
berpita merah dengan paduan warna krem yang dominan, itu hadiah dari
mama. Hari itu ditengah perjalananku ke kampus tiba-tiba hujan deras.
Aku sangat menyesal memakai sepatu itu, namun apa daya. Tiba-tiba
didalam bus yang penuh sesak, seorang perempuan naik terburu-buru dan
menginjak sepatu kesayanganku. Spontan aku melotot kesal.
"Liat-liat dong, sepatu gue kotor tuh !", kataku ketus.
Kemudian
perempuan berambut cepol itu memalingkan wajahnya ke arahku dengan
wajah yang sama kesalnya dengan aku. Rambutnya agak basah terkena hujan.
"Heh,
lo pikir cuma sepatu lo yang kotor ? Sepatu gue juga. Kalo enggak mau
kotor, enggak usah naik angkutan umum. Nih liat sepatu gue !", ucapnya.
Aku
mengikuti arah telunjuknya, melihat ke kakinya dan ternyata sepatu dia
yang pakai sama dengan yang aku pakai hari itu. Spontan mataku
membelalak, tak menyangka akan ada yang "kembaran" denganku hari ini.
"Kok sama ?", ucapku dan dia berbarengan.
Seketika kami saling melihat dan kemudian tertawa kecil. Dia mengulurkan tangannya padaku.
"Hai, gue Adriana. Lo ? Jangan bilang kita sekampus juga deh ?", tanyanya.
"Milanka, panggil aja Anka. Kayanya kita sekampus deh, sama-sama naik bus ini kan ?", jawabku agak sok tahu.
Tak
berapa lama, bus yang membawaku dan Adriana sampai di tempat yang kami
tuju. Kampus. Aku berjalan agak mendahului Adriana, jamku sudah
menunjukkan pukul 10.05, itu berarti aku terlambat 5 menit masuk ke
kelasku dan kelasku ada di lantai 3. Lantai paling atas.
"Dri, gue duluan ya. Telat nih. Sampe nanti yaa", ucapku agak berteriak.
"Iya, hati-hati Anka", jawabnya ramah.
Aku
lari terburu-buru mencapai kelasku yang paling atas. Aku menghela
nafas, ternyata kelas belum dimulai. Dosenku yang
super-sibuk-tukang-absen belum datang. Jadi aku masih sempat masuk
dengan leluasa tanpa haru berbasa-basi menjawab pertanyaannya. Tak
berapa lama, aku lihat pintu kelas terbuka lagi. Dan sosok Adriana,
kulihat jelas berdiri disana. Ya, kami sekelas. Sebuah kesamaan LAGI !
Setelah melihatku, senyumnya mengembang lebar. Dia mengambil tempat
duduk disebelahku, memindahkan tas tanpa pemilik ke bangku sebelahnya.
Sejak
saat itu, aku dan Adriana akrab. Adriana-lah yang banyak menjadi tempat
sampah ceritaku akan Indra. Bahkan mengapa kini dia ikut diam
menemaniku di taman kampus juga karena dia tahu kalau teman baiknya
sedang tak tahu arah.
"Anka,
lo yakin masih mau terus sama Indra ? Lo masih kuat ? Lo mau
nyembunyiin semua rasa sakit lo ini sendiri ? Kenapa enggak ngomong aja
sih sama Indra ?", tanyanya dengan nada gemas.
"Coba lo yang jadi gue Dri", jawabku singkat.
"Gue
mungkin enggak bisa jadi lo, tapi paling enggak semua masalah harus
diselesein dong. Lo kan berkomitmen berdua. Masa lo pikirin ini sendiri
?", sahutnya kesal.
"Lo
enggak tau Indra sih. Dia tuh enggak pernah mikir kalo hubungan ini ada
masalah. Dia selalu mikir ini baik-baik aja. Kalaupun gue omongin,
enggak pernah ada solusi berarti. Terus menurut lo, gue harus apa ?",
jawabku ketus.
"Dia
enggak bakalan ngerti salahnya dimana kalo lo enggak ngomong jujur sama
dia. Lo enggak pernah bahas kan soal SG itu ? Kenapa sih ?", tanyanya
lagi.
"Gue enggak mau sakit hati, gue setengah mati lupain kejadian itu", jawabku.
"Tapi nyatanya apa ? Lo enggak pernah lupa juga kan ?", tegasnya
Aku
hanya bisa diam, tak menjawab Adriana. Rasanya sulit menjelaskan
perasaanku pada siapapun. Pada diriku saja sudah sulit. Aku tak bisa
memaksakan sakit hatiku untuk diam dan tak mengontrol semuanya tapi
nihil. Tiba-tiba didepan tempat aku dan Adriana duduk, parkir sebuah
sedan yang aku hafal betul itu milik siapa. Indra. Dia pasti tahu aku
disini, ini tempat favoritku seusai mata kuliah yang melelahkan.
Indra
berjalan menghampiri aku dan Adriana, wajahnya terlihat sumringah tanpa
beban. Heran, kok manusia satu ini enggak peka banget ya ?, tanyaku
dalam hati.
"Hai cantik", sapa Indra padaku sambil menjawil daguku. "Halo Dri", sapanya pada Adriana.
"Hai Ndra, tumben kesini ? Udah balik ngantor ? Kan masih jam 4 sore ?", tanya Adriana
"Gue mau jemput Anka. Di kantor lagi makan gaji buta", jawab Indra.
"Dijemput
? Emang aku minta jemput kamu ? Kayanya enggak deh, aku enggak sms
apa-apa kok ke kamu", jawabku sambil menyedot teh botol dihadapanku.
"Emangnya aku jemput kamu kalo kamu minta aja ?", jawab Indra sambil nyengir.
"Hahahaha,
lo berdua lucu. Udah ya, gue mau balik. Nanti malem Alan mau ngajak
dinner. Gue mau nyalon. Dah Anka", ucap Adriana sambil cipika cipiki
padaku.
"Dah", ucapku sambil tersenyum dan melambaikan lima jariku pada Adriana.
Aku
melihat Adriana memberi kode padaku, dua telunjuknya dikaitkan.
Katanya, itu kode perdamaian. Dia selalu memberikan kode itu padaku saat
dia tahu aku dan Indra lagi perang dunia. Sebelum masuk ke mobil, dia
tersenyum-kiss-bye padaku.
"Anka, kok kamu enggak ngabarin aku sih beberapa hari ini", tanya Indra yang kini sudah duduk disampingku. Dekat, dekat sekali.
"Emang harus ?", tanyaku singkat.
"Kamu selalu ngabarin aku kemanapun kamu pergi lho. Kemarin aja aku tahu kamu pergi sama Adriana dari mama", jawab Indra.
"Sejak
kapan kamu pengen selalu tau aku kemana dan ngapain ? Segitu pentingnya
buat kamu ?", tanyaku lagi. Kali ini dengan nada lebih ketus.
"Kamu kenapa sih ? Aku nanya baik-baik ya !", bentak Indra.
Aku
langsung melihat mata Indra, menatapnya dalam-dalam. Ini bukan rasa
marah karena dia membentakku, aku sudah tidak peduli. Ingin rasanya
Indra tahu soal perubahanku tapi bukan dari aku. Sebegitu acuhkah Indra
sampai bertanya sebuah hal berulang kali padaku ?
"Aku bukan malaikat yang bisa tahu apa isi hati dan kepala kamu", ucap Indra memecah keheningan kami.
"Aku juga bukan customer service yang bisa kamu tanya berulang kali", tantangku.
Indra
marah. Aku tahu, aku kenal betul cara mata itu melihatku. Gurat-gurat
wajah itu semakin jelas. Indra murka padaku. Tak lama Indra pergi,
berjalan masuk ke mobilnya. Membanting pintu tapi tak meninggalkanku.
Dia hanya membuka kaca dan mengisyaratkan aku agar segera masuk ke
mobilnya. Aku diam, pura-pura tak melihat.
"Anka !", panggilnya tegas.
Akhirnya
dengan langkah yang berat dan setumpuk rasa keterpaksaan aku berjalan
perlahan menuju mobil Indra. Rasanya aku ingin kabur kalau tidak
mengingat banyak orang ditaman kampus ini. Bisa-bisa aku terkenal besok
di kampus, maklumlah kampusku kecil. Tiba-tiba telepon genggamku
bergetar. Ada sebuah pesan singkat. Segera aku baca.
"Milanka,
apa kabar ? Aku di Jakarta lho. Sekarang aku pindah kerja disini,
dimutasi. Kapan-kapan ketemu ya. Salam buat mama. Ini nomor baruku, save
ya. Take care dear ! BARRY"
Langkahku
terhenti. Demi Tuhan, aku tak percaya ini nyata. Kembali aku baca pesan
singkat itu. Oh, ini akan semakin menyulitkan keadaanku dan Indra.
Barry kembali lagi.
***
- (oleh ameliaharahap - http://messynauli.blogspot.com)
seruuu :')
ReplyDeletemampir juga yes ke
www.rizkyboncell.com :D